Dalam upaya memperkuat sinergi antara dunia akademik dan praktik industri pariwisata, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Indonesia (STIEPARI) Semarang sukses menggelar kegiatan Praktisi Mengajar pada tanggal 21–22 April 2025. Bertempat di ruang kelas utama kampus STIEPARI, acara ini menghadirkan tiga tokoh inspiratif dari kawasan Candi Borobudur yang telah membuktikan kiprah dan dedikasi mereka dalam membangun pariwisata berbasis masyarakat.
Acara ini diikuti oleh mahasiswa lintas program studi, dosen, serta pegiat pariwisata lokal, dan menjadi ajang penyatuan antara teori yang dipelajari di ruang kelas dengan realita dan tantangan di lapangan.Praktisi pariwisata Ganung Haryadi hadir dalam program “Praktisi Mengajar” di STIEPARI Semarang, menyampaikan materi bertajuk “Industri Pariwisata dalam Metamorfosis Tingal Art Batik”. Dalam paparannya, Ganung menekankan pentingnya inovasi dan keterlibatan masyarakat dalam membangun ekosistem pariwisata yang berkelanjutan, terutama di kawasan heritage seperti Borobudur.
Ganung menceritakan bagaimana Tingal Art Batik, yang ia rintis sejak 2005, berevolusi dari kerajinan kayu menjadi destinasi wisata edukasi batik. “Kami ingin menghadirkan pengalaman otentik bagi wisatawan—bukan hanya melihat, tetapi juga terlibat,” ujarnya.
Tingal Art kini menawarkan beragam paket wisata, mulai dari tour VW dan Jeep, hingga program edukatif seperti membatik dan live-in bersama warga. Kegiatan ini tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal sebagai pemandu, pengrajin, dan pengelola homestay.
Melalui pendekatan ini, Ganung mengajak generasi muda dan akademisi untuk memandang pariwisata bukan sekadar jalan-jalan, melainkan sebagai alat pemberdayaan budaya dan ekonomi rakyat.
“Batik bukan hanya motif, tapi juga cerita dan identitas bangsa,” tutup Ganung dalam sesinya yang disambut antusias oleh mahasiswa STIEPARI.
Sesi berikutnya menghadirkan Kirno Prasojo, seorang figur ikonik dari Borobudur yang membuktikan bahwa keberhasilan tak selalu dimulai dari modal besar. Bermula sebagai pedagang asongan, juru parkir, hingga sopir hotel, Kirno kini menjabat sebagai pemilik Borobudur Tour and Travel, Borobudur Car Rental, dan pengelola sejumlah layanan keamanan dan parkir wisata.
Salah satu praktisi pariwisata terkemuka dari Borobudur, Kirno Prasojo, hadir dalam program Praktisi Mengajar di STIEPARI Semarang dengan membawa kisah inspiratif tentang perjalanan hidup dan pengembangan transportasi wisata berbasis komunitas.
Mengawali karier dari profesi sederhana seperti pedagang asongan dan juru parkir, Kirno kini menjelma menjadi tokoh utama di balik berbagai layanan wisata di Borobudur seperti Borobudur Tour and Travel dan Borobudur Car Rental. Ia juga mengelola sistem keamanan dan parkir kawasan wisata serta aktif di berbagai organisasi seperti DMO Borobudur dan Pokdarwis.
Dalam paparannya, Kirno menekankan pentingnya sinergi antara sarana transportasi dan prasarana pendukung seperti layanan parkir, keamanan, dan manajemen pengemudi. “Transportasi wisata tidak hanya mengantar, tapi juga mengantar pengalaman yang aman dan nyaman bagi wisatawan,” ujarnya di hadapan para mahasiswa.
Dengan mengintegrasikan layanan transportasi, keamanan, dan komunitas lokal, Kirno menunjukkan bahwa pariwisata bisa menjadi alat pemberdayaan sosial dan ekonomi bagi masyarakat Borobudur.
Kirno Prasojo memaparkan transformasi sektor transportasi wisata berbasis komunitas. Dengan latar belakang sebagai mantan pedagang asongan dan juru parkir, Kirno kini memimpin beberapa usaha strategis yang mendukung transportasi, keamanan, dan layanan pariwisata terpadu di kawasan Borobudur.
“Pariwisata yang baik harus menghadirkan rasa aman, nyaman, dan bersahabat. Semua itu bisa diciptakan jika masyarakat terlibat,” ujar Kirno.
Sesi hari kedua ditutup oleh Muhammad Hatta yang membawa materi tentang Balkondes (Balai Ekonomi Desa) sebagai praktik ekonomi pariwisata berbasis kolaborasi desa dan BUMN. Hatta menekankan konsep “GANDENG dan GENDONG” sebagai strategi kerjasama antar desa dan perusahaan negara.
Dalam sesi Praktisi Mengajar di STIEPARI Semarang, Muhammad Hatta membawakan materi bertajuk “Balkondes: Praktik Ekonomi Pariwisata Desa” yang mengupas bagaimana desa-desa di sekitar Borobudur membangun ekonomi pariwisata berbasis kolaborasi dan pemberdayaan masyarakat.
Hatta menyebutkan bahwa kawasan Borobudur sebelumnya hanya menjadi “pusaran ekonomi” di sekitar Candi. Balkondes hadir untuk mendistribusikan potensi pariwisata secara lebih merata. “Kita tidak ingin wisatawan hanya datang ke Candi dan pulang. Desa harus menjadi bagian dari perjalanan mereka,” ujarnya.
Melalui strategi GANDENG dan GENDONG, Balkondes mendorong kerjasama teknis dan berbagi hasil usaha antar desa. Desa Bigaran misalnya, kini memiliki produk unggulan coklat lokal yang dipasarkan di bandara melalui kerjasama dengan Angkasa Pura. Desa Majaksingi bahkan telah mengembangkan organic coffee labs hasil dukungan Jasa Marga.
Balkondes juga memanfaatkan program TJSL dari BUMN dengan pendekatan profesional, terencana, dan fokus pada nilai tambah. “Desa adalah masa depan ekonomi Indonesia. Dan Balkondes adalah laboratorium sosial-ekonomi terbaik yang kita miliki,” tutup Hatta.
Program TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) dari BUMN juga turut mendukung pengembangan produk unggulan desa seperti kopi Majaksingi dan coklat Bigaran yang kini telah menembus pasar nasional dan internasional.
“Jika Indonesia ingin maju, maka mulai dari desa wisata. Borobudur adalah etalase, tapi desa-desa adalah jantungnya,” disampaikan Hatta.